Kamis, 17 November 2011

PERBEDAAN POTENSI PESERTA DIDIK

 

disusun oleh:


Ahmad Dahlan Mukhtar 20090720005


Aisyah suryani 20090720011


Wiwin sundari 20090720015


Muh. Ariyandi 20090720037


Esti wahyuni 20090720039


 


FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2010/2011


PERBEDAAN INDIVIDU DAN IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN

A. Latar Belakang

Dari bahasa bemacam-macam aspek perkembangan individu, dikenal ada dua fakta yang menonjol, yaitu (i) semua manusia mempunyai unsur-unsur kesamaan di dalam pola perkembangannya dan (ii) di dalam pola yang bersifat umum dari apa yang membentuk warisan manusia secara biologis dan sosial, tiap-tiap individu mempunyai kecenderungan berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut secara keseluruhan lebih banyak bersifat kuantitatif dan bukan kualitatif. Sejauh mana individu berbeda akan mewujudkan kualitas perbedaan mereka atau kombinasi-kombinasi dari berbagai unsur perbedaan tersebut.

Setiap orang, apakah ia seorang anak atau seorang dewasa, dan apakah ia berada di dalam suatu kelompok atau seorang diri, ia disebut individu. Individu menunjukkan kedudukan seseorang sebagai orang perorangan atau perseorangan.Sifat individual adalah sifat yang berkaitan dengan orang perseorangan, berkaitan dengan perbedaan individual perseorangan. Ciri dan sifat orang yang satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini disebut perbedaan individu atau perbedaan individual.Maka “perbedaan” dalam “perbedaan individual” menurut Landgren (1980: 578) menyangkut variasi yang terjadi, baik variasi pada aspek fisik maupun psikologis.Seorang ibu yang memiliki seorang bayi, bertutur bahwa bayinya banyak menangis, banyak bergerak, dan kuat minum. Ibu lain yang juga memiliki seorang bayi, menceritakan bahwa bayinya pendiam, banyak tidur, tetapi kuat minum. Cerita kedua ibu itu telah menunjukkan bahwa kedua bayi itu memiliki ciri dan sifat yang berbeda satu sama lainnya.

Seorang guru setiap tahun ajaran baru selalu menghadapi siswa-­siswa yang berbeda satu sama lain. Siswa-siswa yang berada di dalam sebuah kelas, tidak terdapat seorang pun yang sama. Mungkin sekali dua orang dilihatnya hampir sama atau mirip, akan tetapi pada kenyata­annya jika diamati benar-benar antara keduanya tentu terdapat per­bedaan. Perbedaan yang segera dapat dikenal oleh seorang guru tentang siswanya adalah perbedaan fisiknya, seperti tinggi badan, bentuk badan, wurna kulit, bentuk muka, dan semacamnya.Dari fisiknya seorang guru cepat mengenal siswa di kelasnya satu per satu. Ciri lain yang segera dapat dikenal adalah tingkah laku masing-masing siswa, begitu pula suara mereka. Ada siswa yang lincah, banyak gerak, pendiam, dam sebagainya. Ada siswa yag nada suaranya kecil dan ada yang besar atau rendah, ada yang berbicara cepat dan ada pula yang pelan­pelan. Apabila ditelusuri secara cermat siswa yang satu dengan yang lain memiliki sifat psikis yang berbeda-beda.

Upaya pertama yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan individu, sebelum dilakukan pengukuran kapasitas mental yang mempengaruhi penilaian sekolah, adalah menghitung umur kronologi. Seorang anak memasuki sekolah dasar pada umur 6 tahun dan ia diperkirakan dapat mengalami kemajuan secara teratur dalam tugas­tugas sekolahnya dilihat dalam kaitannya dengan faktor umur. Selanjutnya ada anggapan bahwa semua anak diharapkan mampu menangkap/ mengerti bahan-bahan pelajaran yang mempunyai kesamaan materi dan penyajiannya bagi semua siswa pada kelas yang sama. Ketidakmampuan yang jelas tampak pada siswa uptuk menguasai bahan pelajaran umumnya dijelaskan dengan pengertian faktor-faktor seperti kemalasan atau sikap keras kepala.Penjelasan itu tidak mendasarkar, kenyataan bahwa para siswa memang berbeda dalam hal kemampuan mereka untuk menguasai satu atau lebih bahan pelajaran dan mungkin berada dalam satu tingkat perkembangan.

Telah disadari bahwa perbedaan-perbedaaan antara satu dengan lainnya dan juga kesamaan-kesamaan di antara mereka merupakan ciri-ciri dari semua pelajaran pada suatu tingkatan belajar.Sebab-sebab dan pengaruh perbedaan individu ini dan sejauh mana tingkat tujuan pendidikan, isi dan teknik-teknik pendidikan ditetapkan, hendaknya disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan tersebut, tampaknya hal ini telah mendapat banyak perhatian dari para ahli ilmu jiwa dan petugas sekolah.

Inteligensi mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya, orang lain dan dirinya sendiri. Semakin tinggi taraf inteligensinya semakin baik penyesuaian dirinya dan lebih mampu bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain dengan cara yang dapat diterima. Hal ini jelas akan meningkatkan konsep dirinya, demikian pula sebaliknya .Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan prestisenya. Jika prestisenya meningkat maka konsep dirinya akan berubah (Syaiful, 2008).

Status sosial seseorang mempengaruhi bagaimana penerimaan orang lain terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri seseorang.Penerimaan lingkungan terhadap seseorang cenderung didasarkan pada status sosial ekonominya. Maka dapat dikatakan individu yang status sosialnya tinggi akan mempunyai konsep diri yang lebih positif dibandingkan individu yang status sosialnya rendah. Hal ini didukung oleh penelitian Rosenberg terhadap anak-anak dari ekonomi sosial tinggi menunjukkan bahwa mereka memiliki konsep diri yang tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari status ekonomi rendah.Hasilnya adalah 51 % anak dari ekonomi tinggi mempunyai konsep diri yang tinggi. Dan hanya 38 % anak dari tingkat ekonomi rendah memiliki tingkat konsep diri yang tinggi (dalam Skripsi Darmayekti, 2006:21).

B. Tujuan

     Untuk nemenuhi tugas kelompok matakuliah Psikologi Perkembangan peserta didik

C. Batasan Materi

  1. Intelegensia

  2. Sosial Ekonomi

  3. Budaya

  4. Konsep pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan

  5. Prinsip-prinsip Perkembangan


 

 

 

 

 

 

 

D. Pembahasan

  I. Intelegensia

a)      Pengertian Inteligensi

Inteligensi adalah suatu istilah yang popular. Hampir semua orang sudah mengenal istilah tersebut, bahkan mengemukakannya. Seringkali kita dengar seorang mengatakan si A tergolong pandai atau cerdas ( inteligen ) dan si B tergolong bodoh atau kurang cerdas ( tidak inteligen ). Istilah inteligen sudah lama ada dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman Cicero yaitu kira-kira dua ribu tahun yang lalu dan merupakan salah satu aspek alamiyah dari seseorang.Inteligensi bukan merupakan kata asli yang berasal dari bahasa Indonesia. Kata inteligensi adalah kata yang berasal dari bahasa latin yaitu “ inteligensia “. Sedangkan kata “ inteligensia “ itu sendiri berasal dari kata inter dan lego, inter yang berarti diantara, sedangkan lego berarti memilih. Sehingga inteligensi pada mulanya mempunyai pengertian kemampuan untuk memilih suatu penalaran terhadap fakta atau kebenaran. Untuk memperjelas pengertian inteligensi, maka penulis memaparkan beberapa  definisi  inteligensi  yang  di kemukakan  oleh  beberapa  ahli phisikologi maupun pendidik diantaranya :

Menurut para ilmuwan, dewasa ini manusia  menggunakan 10 persen dari kemampuan otaknya. Dari 10 persen itu sebagian besar hanya mengoptimalkan belahan otak kiri (Stanford Research Institute).Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi jenius. Idealnya memang harus dipersiapkan sejak kecil dengan mengaktifkan fungsi otak untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang menunjang proses pembelajaran. Usia remaja juga dapat memberdayakan otak secara optimal, untuk itu kita harus mengetahui terlebih dahulu cara kerja otak tersebut. (Sidiarto L. 2008)

Beberapa penelitian yang telah dilakukan  mengenai kecerdasan otak, diketahui bahwa kecerdasan otak yang bersumber di sistem limbik justru memberikan kontribusi jauh lebih besar dibandingkan dengan kecerdasan yang bersumber dari neokorteks. Terdapat dua kecerdasan yang bersumber selain dari neo kortex yaitu  pada   emosional di sistem limbik dan  spiritual di God spot (temporal).  Kontribusi kecerdasan emosional  dan  spiritual terhadap keberhasilan karir atau hidup seseorang diperkirakan  sekitar 80 %, sedangkan sisanya merupakan kontribusi dari kecerdasan rasional.  Dari 80 % kontribusi tersebut ternyata spiritual  mendominasi sekitar 60 % dan sisanya merupakan kontribusi emosional .

Potensi kecerdasan sebagai inti Inteligensi merupakan pusat kreativitas dan inovasi yang dihasilkan oleh suatu fungsi organ otak pada manusia (Cattel,1971 dalam Pasiak 2008). atau manusia dapat beraktifitas bermanfaat yang merupakan kegiatan kreatif dan inovatif berdasar derajat inteligensi yang dimotori oleh otak yang sehat.

Dengan demikian untuk mengatasi segala tantangan dan perubahan yang terjadi. Oleh karena itu harus  cerdas dan juga  mampu menggunakan semua kecerdasan otak yaitu intelektual, emosional dan spiritual.

Beberapa Pengertian Intelegensi menurut Para Ahli dalam Dalyono. 2007)

  1. Super dan Cites mengemukakan” Intelegence has frequently been difined as the ability to adjust to the environment or to learning from experience” (Super & Cites, 1962: 83) Intelegnsi sebgai kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dati pengalaman. Dimana manusia hidup dan berinteraksi didalam lingkungannya yang kompleks untuk itu ia memerlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.

  2. Garrett (1946: 372) mengemukakan “ Intelegence includes at least the abilities demanded in the solution of problems which requer the comprehension and use of symbols” (intelegensi itu setidak-tidaknya mencakup kemampuan kemampuan yang diperlukan untuk pemecahan masalah-masalah yang memerlukan pengertian serta mengunakan symbol-simbol. Karena manusia hidup senantiasa menghadapi permasalahan, setiap permasalahan harus dipecahkan agar manusia manusia memperoleh keseimbangan (homeostasis) dalam hidup.

  3. Bischor, 1954 mengemukakan “ Intelegence is the ability to solve problems of all kinds” Intelegensi ialah kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah. Defenisi intelegensi yang dikemukakan bischor ini memuat perbedaan dengan defenisi menurut gareet yaitu intelegensi dalam asti khusus sementara bischor dalam artian yang lebih luwes namun bersifat operasional dan fungsional bagi kehidupan manusia.

  4. Haidentich 1970 mengemukakan” intelegence refers to ability to learn and to utilize what has been learned in adjusting to unfamiliar situation, or in the solving of problems” Intelegensi menyangkut  kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan  masalah-masalah. Dimana manusia yang belajar sering menghadapi situasi-situasi baru serta permasalahan hal ini memerlukan kemampuan individu untuk belajar menyesuaikan diri serta memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi.


Menurut Purwanto, N.(1998) “dalam mendidik dan mengajar, pendidik tidak cukup hanya menyisihkan pengetahuan-pengetahuan atau tanggapan-tanggapan yang banyak ke dalam otak anak-anak” .Pendapat ini mempertegas bahwa anak harus diajar berpikir dengan baik, supaya anak tersebut dapat berpikir dengan baik pula, dan kita perlu memberikan :

  1. Pengetahuan siap (parate kennis), yaitu pengetahuan pasti yang sewaktu-waktu siap untuk dapat dipergunakan, seperti : hafal tentang huruf abjad, perkalian dsb.

  2.  Pengetahuan yang berisi, yang mengandung arti (tidak verbalistis) dan yang benar-benar   dimengerti oleh anak-anak.

  3. Melatih kecakapan membentuk skema, yang memungkinkan berpikir secara teratur dan skematis.

  4. Soal-soal yang mendorong anak untuk berpikir, dalam hal ini faktor motivasi memegang peranan yang penting.


Williem Sterm, “inteligensi ialah suatu kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat berpikir yang sesuai dengan tujuannya, dan inteligensi tersebut sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan” Berdasar pendapat tersebut pendidikan dan lingkungan tidaklah begitu berpengaruh kepada inteligensi seseorang.

 

Sedangkan menurut Jean Piaget, “intelligence atau inteligensi diartikan sama dengan kecerdasan, yaitu seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti berpikir, mempertimbangkan, menganalisis, mensiotesis, mengevaluasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan”11.

Pendapat ini mempertegas bahwa inteligensi adalah seluruh kemungkinan koordinasi yang memberi struktur kepada tingkah laku suatu organisme sebagai adaptasi mental terhadap situasi baru. Dalam arti sempit inteligensi sering kali diartikan sebagai inteligensi perasional, termasuk pula di dalamnya tahapan-tahapan yang sejak dari periode sensorimotoris sampai dengan operasional formal. (Suryabrata S. 2010)

Menurut pendapat Munandar U. (1999) “bahwa inteligensi meliputi terutama kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan, perencanaan, perumusan masalah, penyusunan strategi, representasi mental, keterampilan pengambilan suatu keputusan dan  keseimbangan serta integritas intelektual secara umum”

Wechler, “merumuskan inteligensi sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta kemampuan mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif”.

Dari pendapat ini bahwa hal-hal yang mempengaruhi perkembangan intelek itu antara lain :

  1. Bertambahnya informasi yang disimpan (di dalam otak) seseorang sehingga ia mampu berpikir reflektif.

  2. Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan untuk memecahkan suatu masalah, sehingga seseorang dapat berpikir proporsional.

  3. Adanya kebebasan berpikir menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun hipotesis-hipotesis yang radikal, kebebasan menjajaki masalah secara keseluruhan dan menunjang keberanian anak dalam memecahkan suatu masalah dan menarik kesimpulan yang baru dan benar.


 

Menurut dasar-dasar teori Piaget, “ perkembangan inteligensi yaitu :

  1. Fungsi inteligensi termasuk proses adaptasi yang bersifat biologis.

  2. Bertambahnya usia menyebabkan berkembangnya struktur inteligensi baru, sehingga pengaruh pula terhadap terjadinya perubahan kualitatif”


Sedangkan Semiawan C., (1977) mengatakan, “Kemampuan menghablurkan mencakup kemampuan berpikir verbal dan berpikir kuantitatif, sedangkan kemampuan menganalisis perubahan mencakup berpikir abstrak dan berpikir verbal” Menurut Bobbi Deporter dan Mike Henachi, “semua kecerdasan yang tinggi, termasuk intuisi ada dalam otak sejak lahir, dan selama lebih dari tujuh tahun pertama kehidupan, kecerdasan ini dapat disingkapkan jika dirawat dengan baik”.

Pendapat ini mempertegas agar supaya kecerdasan-kecerdasan ini terawat secara baik, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain yaitu :

  1. Struktur syaraf bagian bawah harus cukup berkembang agar energi dapat mengalir ke tingkat yang lebih tinggi.

  2. Anak harus merasa aman secara fisik dan emosional.

  3. Harus ada model


b) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intelegensi Seseorang

Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi, sehingga terdapat perbedaan intelegensi  seseorang dengan yang lain ialah:

  1. Pembawaan, Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan cirri yang dibawah sejak lahir. Batas kesangupan kita yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal, pertama ditentukan oleh pembawaan kita.Orang itu ada yang pintar ada pula yang bodoh. Sekalipun menerima latihan dan pelajaran yang  sama, perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.

  2. Kematangan, tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ(fisik maupun non fisik) dapat dikatakan telah matang jika telah mencapai kesangupan menjalangkan fungsinya masing-masing. Anak tidak dapat memecahkan soal-soal tertentu karena soal-soal itu masih terlampau sukar baginya.Organ-organ tubuhnya dan fungsi-fungsi jiwanya masih belum matang untuk mengenai soalitu dan kematangan erat hubungannya dengan umur.

  3. Pembentukan, pembentukan ialah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja seperti yang dilakukan disekolah-sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar)

  4. Minat dan pembawaan yang khas, Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan – dorongan(motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring motivasi) dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan timbulah minat terhadap sesuatu, apa yang mereka minat seseorang mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik

  5. Kebebasan, kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode juga bebas dalam memilih masalah sesuati dengan kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan ini berarti bahwa  minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam pembentukan intelegensi. (Dalyono, 2007.)


II. Sosial  Ekonomi

Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Holistik (Humanisme)

Holistik atau humanisme memandang bahwa perilaku itu bertujuan, yang berarti aspek-aspek intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu untuk melahirkan suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan. Holistik atau humanisme menjelaskan mekanisme perilaku individu dalam konteks what (apa), how (bagaimana), dan why (mengapa). What (apa) menunjukkan kepada tujuan (goals/incentives/purpose) apa yang hendak dicapai dengan perilaku itu. How (bagaimana) menunjukkan kepada jenis dan bentuk cara mencapai tujuan (goals/incentives/pupose), yakni perilakunya itu sendiri. Sedangkan why (mengapa) menunjukkan kepada motivasi yang menggerakan terjadinya dan berlangsungnya perilaku (how), baik bersumber dari diri individu itu sendiri (motivasi instrinsk) maupun yang bersumber dari luar individu (motivasi ekstrinsik).

Perilaku individu diawali dari adanya kebutuhan. Setiap individu, demi mempertahankan kelangsungan dan meningkatkan kualitas hidupnya, akan merasakan adanya kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam dirinya. Dalam hal ini, Maslow mengungkapkan jenis-jenis kebutuhan-individu secara hierarkis, yaitu:

  1. kebutuhan fisiologikal, seperti : sandang, pangan dan papan

  2. kebutuhan keamanan, tidak dalam arti fisik, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual

  3. kebutuhan kasih sayang atau penerimaan

  4. kebutuhan prestise atau harga diri, yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status

  5. kebutuhan aktualisasi diri.


Sementara itu, Stranger (Makmun, 2003) mengetengahkan empat jenis kebutuhan individu, yaitu:

  1. Kebutuhan berprestasi (need for achievement), yaitu kebutuhan untuk berkompetisi, baik dengan dirinya atau dengan orang lain dalam mencapai prestasi yang tertinggi.

  2. Kebutuhan berkuasa (need for power), yaitu kebutuhan untuk mencari dan memiliki kekuasaan dan pengaruh terhadap orang lain.

  3. Kebutuhan untuk membentuk ikatan (need for affiliation), yaitu kebutuhan untuk mengikat diri dalam kelompok, membentuk keluarga, organisasi ataupun persahabatan.

  4. Kebutuhan takut akan kegagalan (need for fear of failure), yaitu kebutuhan untuk menghindar diri dari kegagalan atau sesuatu yang menghambat perkembangannya.


Kebutuhan-kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi dorongan (motivasi) yang merupakan kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).

Jika kebutuhan yang serupa muncul kembali maka pola mekanisme perilaku itu akan dilakukan pengulangan (sterotype behavior), sehingga membentuk suatu siklus.

Dalam pandangan holistik, disebutkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam dirinya, setiap aktivitas yang dilakukan individu akan mengarah pada tujuan tertentu. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan, tercapai atau tidak tercapai tujuan tersebut.Jika tercapai tentunya individu merasa puas dan memperoleh keseimbangan diri (homeostatis). Namun sebaliknya, jika tujuan tersebut tidak tercapai dan kebutuhannya tidak terpenuhi maka dia akan kecewa atau dalam psikologi disebut frustrasi. Reaksi individu terhadap frustrasi akan beragam bentuk perilakunya, bergantung kepada akal sehatnya (reasoning, inteligensi). Jika akal sehatnya berani mengahadapi kenyataan maka dia akan lebih dapat menyesuaikan diri secara sehat dan rasional (well adjustment). Namun, jika akal sehatnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, perilakunya lebih dikendalikan oleh sifat emosinalnya, maka dia akan mengalami penyesuaian diri yang keliru (maladjusment).

Bentuk perilaku salah (maldjustment), diantaranya : Agresi marah, kecemasan tak berdaya, regresi (kemunduran perilaku), fiksasi, represi (menekan perasaan), rasionalisasi (mencari alasan), proyeksi (melemparkan kesalahan kepada lingkungan), sublimasi (menyalurkan hasrat dorongan pada obyek yang sejenis), kompensasi (menutupi kegagalan atau kelemahan dengan sukses di bidang lain), berfantasi (dalam angan-angannya, seakan-akan ia dapat mencapai tujuan yang didambakannya).

Di sinilah peran guru untuk sedapat mungkin membantu para peserta didiknya agar terhindar dari konflik yang berkepanjangan dan rasa frustasi yang dapat menimbulkan perilaku salah-suai.Sekaligus juga dapat memberikan bimbingan untuk mengatasinya apabila peserta didik mengalami konflik yang berkepanjangan dan frustrasi.

III. Budaya

Goodenough, 1971; Spradley, 1972; dan Geertz, 1973 mendefinisikan arti kebudayaan di mana kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada (Sairin , 2002).

Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble power), yang mampu menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dan sebagainya.

Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil perolehan manusia selama menjalin interaksi kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun non fisik.Hasil perolehan tersebut berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Proses hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah mengkisahkan suatu rangkaian pembelajaran secara alamiah. Pada akhirnya proses tersebut mampu melahirkan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia. Disini kebudayaan dapat disimpulkan sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam. Alam telah mendidik manusia melalui situasi tertentu yang memicu akal budi manusia untuk mengelola keadaan menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.

Fungsi pendidikan dalam konteks kebudayaan dapat dilihat dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia tidak ada kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah sekadar jumlah kepribadian-kepribadian.Para pakar antropologi, menunjuk kepada peranan individu bukan hanya sebagai bidakbidak di dalam papan catur kebudayaan. Individu adalah creator dan sekaligus manipulator kebudayaannya. Di dalam hal ini studi kebudayaan mengemukakan pengertian “sebab-akibat sirkuler” yang berarti bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu interaksi yang saling menguntungkan. Di dalam perkembangan kepribadian diperlukan kebudayaan dan seterusnya kebudayaan akan dapat berkembang melalui kepribadian–kepribadian tersebut. Inilah yang disebut sebab-akibat sirkuler antara kepribadian dan kebudayaan. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif tetapi perlu mengembangkan kepribadian yang kreatif.Pranata sosial yang disebut sekolah harus kondusif untuk dapat mengembangkan kepribadian yang kreatif tersebut. Namun apa yang terjadi di dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah kita ialah sekolah telah menjadi sejenis penjara yang memasung kreativitas peserta didik.

Kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk tingkah-laku yang bisa dipelajari.Dengan demikian tingkah laku manusia bukanlah diturunkan seperti tingkah-laku binatang tetapi yang harus dipelajari kembali berulang-ulang dari orang dewasa dalam suatu generasi.Di sini kita lihat betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pembentukan kepribadian manusia.

Para pakar yang menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam kebudayaan mula-mulanya muncul dari kaum behavioris dan psikoanalisis Para ahli psikologi behaviorisme melihat perilaku manusia sebagai suatu reaksi dari rangsangan dari sekitarnya.

Di sinilah peran pendidikan di dalam pembentukan perilaku manusia. Begitu pula psikolog aliran psikoanalis menganggap perilaku manusia ditentukan oleh dorongan-dorongan yang sadar maupun tidak sadar ini ditentukan antara lain oleh kebudayaan di mana pribadi itu hidup. John Gillin dalam Tilaar (1999) menyatukan pandangan behaviorisme dan psikoanalis mengenai perkembangan kepribadian manusia sebagai berikut.

  1. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar.

  2. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi perilaku tertentu. Jadi selain kebudayaan meletakkan kondisi, yang terakhir ini kebudayaan merupakan perangsang-perangsang untuk terbentuknya perilaku-perilaku tertentu.

  3. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment” terhadap perilaku-perilaku tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong suatu bentuk perilaku yang sesuai dengan system nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman terhadap perilaku-perilaku yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya tertentu.

  4.  Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses belajar. Apabila analisis Gillin di atas kita cermati, tampak betapa peranan kebudayaan dalam pembentukan kepribadian manusia, maka pengaruh antropologi terhadap konsep pembentukan kepribadian juga akan tampak dengan jelas.


IV. Konsep Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan

Pandangan Khaldun tentang penduidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis empiris.Melelui pendekatan ini, memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal atau praktis. Meski ia tidak mengkhususkan sebuah bab atau pembahasan mengenai tujuan pendidikan, namun dari uraiannya dapat memeberikan kesimpulan terhadap arah dan tujuan pendidikan yang diinginkannya. Menurutnya paling tidak ada 3 (tiga) tingkatanan tujuan pyang hendakdicapaindalamprosespendidikan,yaitu:

  1. Pengembangan kemahiran (al-malakah atau sekill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa memililki pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi, potensi al-malakah tidak bisa dimiliki oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-baner memahami dan mendalami satu disiplin tertentu. Dalam hal ini, para pakar (ilmuwan khususnya) yang memiliki al-malakah secara sempurna.Sementara untuk sampai pada tahap ini, diperlukan pendidikan yang sistematis dan mendalam.

  2. Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman ( link and match). Dalam hal ini, pendidikan hendaknya ditunjukkan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi dari profesi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia dimuka bumi. Pendidikan yang meletakkan ketrampilan sebagai salah satu tujuannya yang hendak dicapai, dapat diartikan sebagai upaya mepertahankan dan memajukanperadabansecarakeseluruhan.

  3. Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berfikir merupakan garis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu pendidikan hendaknya diformat dan dilaksanakan denmgan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dengan kehidupannya guna mewujudkan kesejahteraan hidupnya didunia dan diakhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka keberadaan pendidikan merupakan bagian integral dari konstruksi sebuah peradaban.proses ini merupakan upaya mulia karena berhubungan dengan penyebaran ilmu pengetahuan. Upaya tersebut merupakan salah satu tugas manusia sebagai kalifah fil-ardh.


Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologi peserta didik, pengetahuan ini akan sangat membantu umtuk mengenal setiap individu peserta didik dalam mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidikhendaknyamengetahuikemampuanandayaserappesertadidik.
Kemampuan ini akan bermanfaat bagi penetapan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudahdalamcakupanmateripendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Dalam hal ini Ibnu khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik,yaitu:

  1. Prinsip pembiasaan.

  2. Prinsip tadrij (berangsur-angsur)

  3. Prinsip pengenalan umum(generalistik)

  4. Prinsip kontinuitas

  5. Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik.

  6. Menghindari kekerasan dalam mengajar.


Sementara pemikiran Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari konsep epistimologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu; ilmu pengetahuan syari’iyyah dan lmu pengetahuan filosofis.Ilmu pengetahauan asyar’iyyah berkenaan dengan hukum dan ajaran-ajaran Islam. Ilmu ini diantarannya adalah tentang al-quran, hadis , prinsip-prinsip syariah, fiqih, teologi, dan sufisme. Sementara itu ilmu pengetahuan filosofis meliputi; logika, ilmu pengetahuan alam (Fisika), metafisika, dan matematika.Ilmu pengetahuan filosofis juga sering disebut sains ilmiah.Hal ini dibabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untukmenguasainyadenganbaik.
Ilmu pengetahuan syari’iyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkannya .Konsep ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal. Yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memmiliki kemampuan membentuk dan membangun peradaban umat manusia

V.Prinsip-Prinsip Perkembangan

Diantara prinsip-prinsip dalam perkembangan salah satu nya adalah: Perbedaan individu (individual difference), makasudnya adalah proses perkembangan setiap individu memilikimsifat dan karakteristik nya sendiri,berbeda satu dengan yang lain.Baik menyangkut kecepatan atau kelambatan nya,ada individu yang lebih cepat pada tahapan tertentu,akan tetapi lebih lambat pada tahapan atau aspek yang lain konsekuensi nya adalah tidak ada dua individuyangsamamesipunlahirkembar.
 

 

 

 

Referensi:

Dalyono. M. 2007. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta Jakarta.

Depoter, Bobbi & Mike Hernachi 1999, Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Kaifa, Bandung

Hartono S., 1999. Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta,  Jakarta

Makmun.S.A. 2003.Psikologi Pendidikan. Rosda Karya Remaja. Bandung

Purwanto, N. 1998.Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung

Semiawan C, 1977. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Grasindo  Jakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar