Sabtu, 07 Januari 2012

MAKALAH FIQH IBADAH Puasa Bagi Wanita Hamil, Melahirkan Dan Menyusui

Dosen : Drs. Ghoffar Ismail, SAg. M.A







Disusun oleh:
1. Wiwin Sundari 20090720015
2. Nurul Ainna 20090720041





JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2011

PENDAHULUAN
Saum atau puasa dalam islam ( صوم) secara bahasa artinya menahan atau mencegah. Menurut syariat agama Islam artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkannya, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, dan memiliki syarat- syarat tertentu. Selain itu, puasa juga merupakan salah satu rukun islam. Perintah tentang kewajiban berpuasa telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi :
              
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Namun bagaimana hukum puasa bagi wanita yang sedang hamil, menyusui dan melahirkan. Apakah tetap diwajibkan berpuasa atau tidak, atau haruskah mengqadhanya setelah melahirkan dan kondisinya telah pulih, atau dikenakan membayar fidyah sebagai ganti karena ia tidak berpuasa. Seperti yang telah diketahui bahwa kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui ataupun melahirkan memang berbeda-beda. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa, terutama di bulan Ramadhan. Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi, sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan Ramadhan begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui air susu sang ibu.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan permasalah tentang hukum puasa bagi wanita hamil, melahirkan, dan menyusui menurut alqur’an dan hadits, para ulama, dan dari segi kesehatan.


PEMBAHASAN
A. Al- Qur’an dan Hadits
Allah telah mewajibkan puasa Ramadhan atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib puasa. Namun pada golongan tertentu, Allah juga telah memberikan keringanan (rukshah) untuk boleh tidak berpuasa dan mewajibkan qadha atas mereka pada waktu lain atau pun membayar fidyah. Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan yaitu :
1. Musafir
2. Orang yang sakit
3. Wanita yang haid dan nifas
4. Kakek dan nenek yang sudah lanjut usia
5. Wanita hamil dan menyusui
Hamil dan menyusui adalah dua kondisi berat yang dialami hampir semua wanita. Dalam rentang waktu sembilan bulan mengandung janin, pun mengkondisikan jiwa dan raga untuk calon buah hatinya, energi sang ibu begitu tersita. Saat persalinan berhasil pun, ia tak lantas bisa bebas beistirahat. Dua tahun kedepan, ia harus menyusui si bayi; rentang waktu yang cukup menguras tenaga dan pikirannya untuk merawat dan membesarkan anak tercinta.
Untuk kesukaran tersebut, Islam memberikan keringanan hukum dalam ranah puasa. Pasalnya, kewajiban menahan makan dan minum mulai terbit fajar hingga matahari terbenam itu membutuhkan kekuatan fisik dan mental yang prima. Sementara vitalitas ibu hamil dan menyusui acapkali menyusut. Maka jangankan untuk menahan lapar dan dahaga selama 10 jam, kisaran waktu 2-3 jam saja tubuhnya sudah bergetar hebat.
Dalam hal inilah kewajiban berpuasa bagi wanita hamil dan menyusui agak berbeda dari kaum muslimin pada umumnya. Kesukaran yang mereka hadapi diibaratkan orang yang sakit ditengah ketidakberdayaanya melawan penyakit. Sebab itu, wanita hamil dan menyusui diberikan keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa.
       ••                                        
Artinya : (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas pe=tunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Sedang hadist Nabi SAW
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

Artinya: Sesungguhnya Allah meringankan bagi seorang musafir setengah sholat dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil. (Hadits dengan lafal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 31/392 no 19047, Ibnu Majah dalam sunannya 1/533 no 1667, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 4/231 ).
Namun, dispensasi (keringanan) tersebut ’diberikan’ bukan Cuma-Cuma. Keputusan meninggalkan puasa tersebut harus ada alasan yang kuat; yakni uzur. Uzur disini jelas merupakan ketidaksanggupan (tidak kuatnya) mereka menjalani puasa.. Dalam beberapa kasus mereka bahkan ambruk lantaran kondisinya yang kurang stabil untuk berpuasa.
Uzur tersebut pun, menurut DR Wahbah az-Zuhaily, salah seorang syekh besar Al- Azhar, Mesir, merupakan kekhawatiran yang bisa berupa kurangnya ketajaman akal, kerusakan, timbulnya suatu penyakit yang didasarkan pada analisa dokter muslim yang andal, adil, dan dapat dipercaya.
Bagaimana jika sebalilknya? Apakah wanita hamil dan menyusui tidak boleh berpuasa? Tentu, hukumnya kembali ke asal, yakni wajib. Sepanjang mereka tidak merasa berat, yakin sanggup menjalani serta tidak sampai membahayakan kondisi kesehatan diri dan janinnya.
Seperti kita ketahui tidak sedikit wanita hamil dan menyusui yang kuat menunaikan puasa sebulan penuh. Stimulus ibadah puasa seakan menjadi vitamin ekstra bagi mereka. Sebab dua kewajiban ibadah berisi nilai pahala tak terhingga merupakan kesempatan langka. Ramadhan datang setahun sekali, pun wanita hamil dan menyusui yang umumnya datang lebih jarang lagi. Sebuah karunia pahala hanya khusus dimiliki kaum muslimah.
Kendati demikian, pada tahap selanjutnya, wanita hamil dan menyusui pun harus mengerti benar koridor-koridor hukum dalam ranah puasa yang diberikan kemurahan tersebut. Sebab, bila mereka memang tidak berpuasa karena uzur, mereka dihadapkan pada dua hal; qadha (mengganti puasa dilain waktu setelah Ramadhan) dan membayar fidyah.
Fidyah (فدية) atau fidaa (فدى) atau fida` (فداء) adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya. Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah “ith’am”, yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.
Al-Kaasaani berkata, "Adapun kewajiban membayar fidyah maka syaratnya adalah ketidakmampuan utnuk mengqodho puasa, yaitu ketidakmampuan yang tidak bisa diharapkan akan hilang hingga sampai meninggal dunia. Karenanya fidyah tidak wajib kecuali hanya pada manula. Tidak wajib fidyah bagi orang sakit dan musafir, dan tidak juga wajib fidyah bagi wanita hamil dan wanita menyusui" (Badaai' As-Shonaai' 2/105).
Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah:184
 •                                    
Artinya : (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Beliau berkata, "Bukanlah yang dimaksud dalam ayat ini dzat sakit, karena orang yang sakit yang tidak mendapat kemudhorotan karena puasa maka tidak boleh baginya untuk berbuka. Maka penyebutan sakit di sini adalah kinayah untuk kondisi yang terdapat pada seseorang yang jika ia berpuasa maka bisa mendapatkan kemudhorotan. Dan kondisi ini juga terdapat pada wanita hamil dan wanita menyusui, maka keduanya masuk (dalam ayat ini) untuk mendapatkan keringanan berbuka" (Badaai' As-Shonaai' 2/97).
Sedangkan yang dimaksud dengan qodho’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya. Untuk kasus orang sakit misalnya, di bulan Ramadhan seseorang mengalami sakit berat sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia mengganti puasanya tadi. Inilah yang disebut qodho’.
B. Pendapat Para Ulama
Para ulama telah bersilisih pendapat tentang permasalahan : "Apakah wanita hamil dan menyusui jika meninggalkan puasa karena udzur, harus mengqodho atau cukup dengan membayar fidyah saja?"
Terdapat beberapa pendapat dalam permasalahan ini, namun pada kesampatan ini penulis mencoba memaparkan dua pendapat yang terkuat dari sekian pendapat para ulama dalam permasalahan ini. Akan tetapi sebelumnya penulis ingin mengingatkan kepada para pembaca sekalian bahwasanya permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah dikalangan para ulama, bagaimanapun penulis berusaha memilih pendapat yang terkuat untuk memecahkan masalah yang ada.
1. Pendapat pertama mengatakan :
Keduanya wajib mengqodho tanpa harus membayar fidyah. Dan hal ini berlaku secara mutlaq apakah keduanya berbuka karena khawatir terhadap diri mereka sendiri ataukah karena khawatir terhadap anak-anak mereka ataukah karena kedua-duanya. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hanafi.
Pendapat ini sangatlah kuat mengingat kekuatan dalil yang ada, oleh karenanya pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas para ulama di zaman kita, seperti Syaikh Utsaimin (lihat Asy-Syarhul Mumti' 6/220), Syaikh Bin Baaz (lihat majmu' al-fatawa 15/225) , , dan Al-Lajnah Ad-Daimah (lihat fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 10/226).
 Fatwa Syaikh al-Utsaimin
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah dalam Fatawa al-Shiyam, hal. 161, beliau ditanya: Jika wanita hamil atau menyusui tidak berpuasa tanpa ada udzur, padahal ia kuat dan mampu dan tidak ada pengaruh buruk saat berpuasa, apa hukumnya? Beliau menjawab:
لا يحل للحامل أو المرضع أن تفطرا في نهار رمضان إلا للعذر، فإذا أفطرتا للعذر وجب عليهما قضاء الصوم ، لقول الله تعالى في المريض : ( وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ) . وهما بمعنى المريض وإذا كان عذرهما الخوف على الولد فعليهما مع القضاء عند بعض أهل العلم إطعام مسكين لكل يوم من البر (القمح) ، أو الرز، أو التمر، أو غيرها من قوت الاۤدميين ، وقال بعض العلماء: ليس عليهما سوى القضاء على كل حال ؛ لأنه ليس في إيجاب الإطعام دليل من الكتاب والسنة ، والأصل براءة الذمة حتى يقوم الدليل على شغلها ، وهذا مذهب أبي حنيفة رحمه الله ، وهو قوي

Artinya : "Wanita hamil atau menyusui tidak boleh berbuka pada siang Ramadhan kecuali karena ada udzur (alasan yang dibenarkan). Dan apabila keduanya berbuka karena ada udzur, wajib atas keduanya untuk mengqadha' shaum berdasarkan firman Allah ta'ala terhadap orang sakit:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya : "Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185)
Keduanya masuk dalam kategori maridh (orang sakit). Apabila alasan keduanya karena khawatir akan anaknya maka disamping qadha' –menurut sebagian ulama- keduanya wajib memberi makan seorang miskin untuk setiap hari berupa gandum, atau nasi, kurma, atau makanan pokok lainnya. Sebagian ulama berkata: Tidak ada kewajiban bagi keduanya kecuali qadha' dalam kondisi apapun, karena tidak ada dalil dari Al-Kitab dan al-Sunnah yang mewajibkanya. Sedangkan hukum asal adalah bara'ah dzimmah (terlepas dari tanggungan) sehingga tegak dalil yang menyibukkanya. Ini merupakan madhab Abu Hanifah rahimahullah, dan merupakan pendapat yang kuat."
Dalam fatwa beliau yang lain, Fatawa Shiyam hal. 162, beliau ditanya: "Tentang wanita hamil, apabila ia khawatir atas dirinya atau khawatir atas anaknya lalu berbuka (tidak berpuasa), apa hukumnya?"
Beliau menjawab:
جوابنا على هذا أن نقول : الحامل لا تخلو من حالين : إحداهما : أن تكون نشيطة قوية لا يلحقها مشقة ولا تأثير على جنينها ، فهذه المرأة يجب عليها أن تصوم ؛ لأنها لا عذر لها في ترك الصيام

والحال الثانية : أن تكون الحامل غير متحملة للصيام : إما لثقل الحمل عليها ، أو لضعفها في جسمها ، أو لغير ذلك ، وفي هذه الحال تفطر ، لاسيما إذا كان الضرر على جنينها ، فإنه قد يجب الفطر عليها حينئذ . وإذا أفطرت فإنها كغيرها ممن يفطر لعذر يجب عليها قضاء الصوم متى زال ذلك العذر عنها ، فإذا وضعت وجب عليها قضاء الصوم بعد أن تطهر من النفاس ، ولكن أحياناً يزول عذر الحمل ويلحقه عذر آخر وهو عذر الإرضاع ، وأن المرضع قد تحتاج إلى الأكل والشرب لاسيما في أيام الصيف الطويلة النهار ، الشديدة الحر، فإنها قد تحتاج إلى أن تفطر لتتمكن من تغذية ولدها بلبنها، وفي هذه الحال نقول لها أيضاً: أفطري فإذا زال عنك العذر فإنك تقضين ما فاتك من الصوم

Artinya : " Wanita hamil tidak lepas dari dua kondisi: Pertama, ia sehat dan kuat yang tidak merasa berat dan tidak berpengaruh buruk pada janinnya. Maka wanita ini wajib berpuasa karena ia tidak memiliki udzur untuk meninggalkan puasa. Kondisi kedua, wanita hamil tidak mampu menjalankan puasa, baik karena beratnya kehamilannya, lemahnya pada fisiknya, atau sebab lainnya. Dalam kondisi ini ia berbuka, terlebih lagi apabila bahayanya mengancam janinnya, maka dalam kondisi seperti ini ia wajib berbuka (tidak puasa). Dan apabila berbuka, ia seperti yang lainnya dari orang yang berbuka karena udzur, yakni wajib atasnya mengqadha' puasa saat udzur itu telah hilang dari dirinya. Jika ia telah melahirkan, wajib atasnya mengqadha puasa setelah suci dari nifas. Tetapi, biasanya, hilangnya udzur hamil diikuti udzur lain, yaitu menyusui. Wanita menyusui membutuhkan makan dan minum terlebih saat musim panas yang siangnya lebih panjang, panasnya begitu menyengat, ia butuh untuk berbuka untuk memenuhi makanan bagi anaknya melalui air susunya. Dalam kondisi seperti ini kami katakan: Berbukalah, dan apabila telah hilang udzur darimu, bayarlah puasa yang telah engkau tinggalkan.
 Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
Dalam Majmu' al-Fatawa (15/225) beliau mengatakan:

أما الحامل والمرضع فقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم من حديث أنس بن مالك الكعبي عن أحمد وأهل السنن بإسناد صحيح أنه رخص لهما في الإفطار وجعلهما كالمسافر . فعلم بذلك أنهما تفطران وتقضيان كالمسافر ، وذكر أهل العلم أنه ليس لهما الإفطار إلا إذا شق عليهما الصوم كالمريض ، أو خافتا على ولديهما والله أعلم

Artinya :"Adapun wanita hamil dan menyusui telah ada ketetapan dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dari hadits Anas bin Malik al-Ka'bi, dari Ahmad dan Ahlus Sunan dengan isnad shahih, bahwa beliau memberi rukhsah (keringanan) bagi keduanya untuk berbuka dan menjadikan keduanya seperti musafir. Maksudnya keduanya berbuka dan mengqadha' sebagaimana musafir. Para ulama menyebutkan, keduanya tidak boleh berbuka kecuali apabila terlalu berat kalau tetap berpuasa seperti orang sakit; atau jika keduanya khawatir atas anaknya, wallahu a'lam."
 Fatwa Lajnah Daimah
Terdapat dalam Fatawa al-Lajnah al-Daimah (10/226):

أما الحامل فيجب عليها الصوم حال حملها إلا إذا كانت تخشى من الصوم على نفسها أو جنينها فيرخص لها في الفطر وتقضي بعد أن تضع حملها وتطهر من النفاس

Artinya :"Adapun wanita hamil, wajib atasnya berpuasa di waktu hamil. Kecuali apabila khawatir (takut) atas kesehatan dirinya atau janinnya kalau tetap berpuasa. Maka diberikan rukhshah baginya berbuka dan mengganti (qadha') setelah melahirkan dan suci dari nifas."
Bahkan Ibnu Qudamah berkata, "Wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir terhadap diri mereka sendiri (bukan kawatir terhadap anak mereka-pent) maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka dan wajib bagi mereka berdua untuk qodho saja, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf diantara para ahli ilmu dalam hal ini" (Al-Mughni 4/393-394). Meskipun penafian khilaf yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah berkaitan dengan kondisi khusus -yaitu jika keduanya berbuka karena kawatir terhadap diri mereka berdua sendiri-, akan tetapi ini jelas bertentangan dengan pendapat yang menyatakan bahwa keduanya hanya cukup membayar fidyah secara mutlaq tanpa harus mengqodho baik khawatiran karena diri mereka sendiri atau karena anak-anak mereka atau karena kedua-duanya. Dalil yang dikemukakan oleh para ulama yang memilih pendapat yang pertama ini adalah
Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik :
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
Artinya: Sesungguhnya Allah meringankan bagi seorang musafir setengah sholat dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil.
(Hadits dengan lafal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 31/392 no 19047, Ibnu Majah dalam sunannya 1/533 no 1667, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 4/231 ).
Sisi pendalilan di sini, bahwasanya Allah menggandengkan hukum wanita hamil dan wanita menyusui dengan musafir dalam hal sama-sama diberi keringanan untuk berbuka (tidak berpuasa), hal ini menunjukan bahwa hukum antara wanita menyusui dan wanita hamil juga sama dengan hukum musafir. Jika musafir wajib mengqodho puasa yang ditinggalkannya dan tidak membayar fidyah maka demikian juga dengan wanita hamil dan wanita menyusui.
Dalil qiyas, dan ini merupakan dalil terkuat, karena kondisi wanita hamil dan wanita menyusui adalah kondisi seseorang yang mendapatkan suatu udzur yang kelak akan hilang udzur tersebut. Hal ini sebagaimana kondisi seorang musafir yang memiliki udzur safar yang tentunya memberatkan, dan suatu saat dia akan berhenti dari safarnya sehingga hilang udzurnya. Sebagaimana juga seorang yang sakit, ia memiliki udzur sakit dan suatu saat dia akan sembuh sehingga udzurnya hilang. Maka demikian juga dengan wanita hamil dan menyusui, suatu saat udzur mereka akan hilang, oleh karenanya mereka lebih pantas untuk diqiyaskan kepada orang musafir dan orang sakit. Berkata As-Sirokhsi, "Karena wanita yang hamil atau wanita yang menyusui mendapatkan "haroj" (kepayahan/kesulitan) tatkala puasa, dan kesulitan merupakan udzur untuk berbuka sebagaimana orang sakit dan musafir, dan wajib bagi wanita hamil atau menyusui qodho' tanpa bayar fidyah."

2. Pendapat kedua mengatakan :
Keduanya hanya wajib membayar fidyah secara mutlaq tanpa harus mengqodho. Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas. Ibnul Mundzir berkata, Para ulama dalam masalah ini ada empat madzhab yaitu :
a) Ibnu Umar, Ibnu Abaas, dan Sa'iid bin Jubair berkata, "Keduanya (wanita hamil dan wanita menyusui) berbuka dan memberi makan (fidyah), dan tidak wajib qodho atas keduanya.
b) 'Atoo bi Abi Robaah, Al-Hasan, Ad-Dhohaak, An-Nakho'i, Az-Zuhri, Robi'ah, Al-Auzaa'i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu 'Ubaid, Abu Tsaur, dan Ashaab Ar-Ro'yi berpendapat mereka berdua berbuka dan mengqoho tanpa bayar fidyah. Hukum keduanya seperti hukum orang sakit.
c) As-Syafi'i dan Ahmad berkata : Keduanya berbuka dan mengqodho serta membayar fidyah. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Mujahid.
d) Malik berkata : wanita hamil berbuka dan mengqodho tanpa fidyah dan wanita menyusui berbuka dan mengqoho serta membayar fidyah" (sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi dalam Majmu' Sarhul Muhadzdzab 6/275)

Dalam hal ini Ibnu Abbas menganggap bahwa wanita hamil dan wanita menyusui sama hukumnya seperti orang manula yang berat melakukan puasa, dimana mereka hanya diwajibkan untuk membayar fidyah tanpa harus mengqodho. Beliau pernah melihat wanita yang hamil atau menyusui maka beliau berkata:

إذا خَافَتِ الحاملُ على نفسها والمرضِعُ على ولدها في رمضان : يُفطران ويُطعمان مكانَ كل يومٍ مسكيناً، ولا يقضيان صوماً

Artinya : "Jika seorang wanita hamil mengkawatirkan dirinya dan wanita menyusui mengkawatirkan anaknya di bulan Ramadhan (jika mereka berdua berpuasa) maka mereka berdua berbuka dan membayar fidyah untuk setiap hari dengan memberi makan kepada seorang miskin, dan keduanya tidak mengqodho." (Diriwayatkan oleh At-Thobari no 2758. Syaikh Al-Albani berkata, "Isnadnya shahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim lihat al-Irwaa 4/19)

انت بمنزلة الذي لا يطيق عليك أن تطعمى مكا ن كل يوم مسكينا ولا قضا ء عليك

Artinya : "Kedudukanmu seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, maka hendaknya engkau memberi makan seorang miskin untuk ganti setiap hari berbuka, dan tidak ada qodho bagimu." (Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam musnadnya 11/227 no 4996 dan Ad-Daruqthni dalam sunannya 3/196 no 2382 dan Ad-Daruquthni berkata, "Ini adalah isnad yang shahih"

Ibnu Umar juga berpendapat seperti pendapat Ibnu Abbas.

أ ن ا مر أ ة سأ لته و هى حبلى فقا ل أفطري وأظعمى عن كل يوم مسكينا ولا تقضي

Artinya : Ada seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu Umar, maka Ibnu Umar berkata, "Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin untuk mengganti setiap harinya, dan janganlah mengqodhlo" (HR Ad-Daruquthni dalam sunannya 2/196 no 2388. Abdurrozzaq dalam mushonnafnya 4/217 no 7558, 7559, dan 7561 juga meriwayatkan atsar dari Ibnu Umar dengan makna yang sama dengan riwayat diatas).
Dan tidak diketahui adanya sahabat yang lain yang menyelisihi Ibnu Abbas. Bahkan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Umar. Dan perkataan seorang sahabat adalah sebuah hujjah selama tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi dan tidak menyelisihi nash. Ibnu Qudamah berkata, "Tidak ada dari para sahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar)" (Al-Mughni 4/394, meskipun Ibnu Qudamah membawakan atsar Ibnu Abbas dan Ibnu Umar pada jika wanita hamil dan menyusui berbuka karena kawatir kepada anak mereka).
Dan perkataan seorang sahabat merupakan hujjah selama tidak ada sabahat lain yang menyelishi, hal ini disepakati oleh para empat imam madzhab (adapun tahqiq dalam permasalahan ini para pemabaca bisa merujuk kepada sebuah bahasan yang ditulis oleh DR Tarhiib Ad-Dausari dengan judul Hujjiyyatu qoulus Shohaabiy 'inda As-Salaf, dan sebelumnya silahkan membaca penjelasan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I'laamu' Muwaqqi'iin 5/548 dst). Syaikh Al-'Utsaimin berkata, "Dan perkataan (pendapat) seorang sahabat adalah hujjah selama tidak menyelisihi nash" (As-Syarhul Mumti' 6/446). Kita tidak mengatakan bahwa pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dihukumi marfu' kepada Nabi, karena kalau dihukumi marfu' maka tentu jelas kekuatan hukumnya sebagaimana hadits Nabi. Akan tetapi kita katakan bahwa pendapat mereka berdua merupakan ijtihad, dan ijtihad itulah yang dikenal oleh para ulama ushul dengan istilah qoulus shohaabiy, yang hal itu merupakan hujjah jika tidak ada sahabat lain yang menyelisihi.

C. Analisis
1. Dari Segi hadist
Pada dasarnya
الأصل في العبادة التحريم الامادل الدليل علي خلافه )جوازه(
Segala sesuatu di dalam ibadah itu pada asalnya diharamkan untuk dikerjakan kecuali ada dalil yang menunjukan bolehnya untuk dilakukan.
Dari penjelasan diatas maka jelas bahwa dalil pendapat yang pertama yang paling kuat adalah dalil qiyas, yaitu mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit dan musaafir, dengan 'illah yang sama yaitu mereka semua sama-sama memiliki udzur yang bisa hilang dikemudian hari.
Adapun dalil dari hadits Anas yang dijadikan hujjah oleh pendapat pertama, sisi pendalilannya adalah dikenal oleh para ahli usul dengan istilah "Dalaalatul iqtiroon", dan sisi pendalilan seperti ini adalah pendalilan yang lemah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ahli ushul.
Jika ada seseroang berkata, "Allah telah menggugurkan kewajiban puasa bagi seorang yang sakit dan orang yang tua yang tidak mampu berpuasa", maka tentu ini adalah perkataan yang benar, namun tidak melazimkan bahwa keduanya (orang sakit dan orang tua) sama dalam hal membayar puasa mereka yang batal. Karena orang yang tua dengan membayar fidyah sedangkan orang yang sakit dengan mengqodho. Oleh karenanya hadits Anas di atas juga dijadikan dalil oleh para pemihak pendapat yang kedua, karena telah datang satu riwayat dari hadits Anas tersebut dengan lafal :
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

Artinya: Sesungguhnya Allah meringankan bagi seorang musafir setengah sholat dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil. (Hadits dengan lafal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 31/392 no 19047, Ibnu Majah dalam sunannya 1/533 no 1667, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 4/231 )
Kalau ada yang berkata, "Bukankah Allah menggugurkan setengah sholat (2 rakaat) bagi orang musafir dan Allah tidak memerintahkan untuk mengqodho'nya?, maka demikian juga dengan pengguguran puasa bagi wanita hamil dan menyusui tidak perlu diqodho sebagaimana setengah sholat yang tidak perlu diqodho oleh musafir jika telah selesai safarnya". Maka kita katakan ini juga merupakan pendalilan dengan dalaalaatul iqtiroon, dan pendalilan ini lemah.
Maka dalam hal ini penulis berpendapat bahwa :
1. Jika orang yang hamil, menyusui dan melahirkan tersebut masih mampu untuk berpuasa, maka ia diperbolehkan untuk berpuasa
2. Jika orang yang hamil, menyusui, dan melahirkan tersebut terasa berat untuk berpuasa, maka diperbolehkannya bagi dia tidak berpuasa, namun harus mengganti pada waktu yang lain
3. Jika orang yang hamil, melahirkan, dan menyusui tersebut tidak mampu berpuasa, dan juga tidak mampu menggantinya di lain waktu, maka diwajibkan baginya untuk membayar fidyah saaja.
Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat ulama yang kedua, yang menguatkan dalilnya dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar dan Ibn ’Abbas.
لحديث انس بن مالك الكعبي ان رسول الله صلعم. قال: ان الله عز وجل وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة وعن الحبلى و المرضع الصوم (رواه الخمسة). وكان ابن عباس يقول لام ولدله حبلى: انت بمترلة الذى يطيقه، فعليك الفداء ولا قضاء عليك (رواه البزار و صححه الدارقطنى). واخرج ابوداود عن ابن عباس انه قال: اثبت للحبلى والمرضع ان يفطرا ويطعما كل يوم مسكينا.
Artinya : “Menurut Hadis Anas ibn Malik al-Ka’biyyi bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Sungguh Tuhan Allah Yang Maha Besar dan Mulia telah membebaskan puasa dan separoh shalat bagi orang yang bepergian, serta membebaskan puasa dari orang hamil dan menyusui” (HR al-Khamsah). “Dan Ibn ‘Abbas berkata kepada jariyahnya yang hamil: Engkau termasuk orang yang keberatan berpuasa, maka engkau hanya wajib berfidyah dan tidak usah mengganti puasa” (HR. al-Bazzar ditashihkan oleh al-Daruquthni). “Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn ‘Abbas, bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi orang yang mengandung dan menyusui untuk berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya”.

2. Dari segi kesehatan
Dr.H.Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH,MMB,FINASIM, dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Lambung dan Pencernaan, FKUI-RSCM mengatakan wanita hamil sebenarnya aman untuk berpuasa saat kehamilan sudah memasuki trimester kedua atau sekitar bulan keempat sampai awal-awal bulan ketujuh atau kedelapan.
Sedangkan pada trimester pertama sangat rawan, karena menurut Dr Ari, pada masa trimester pertama, ibu hamil biasanya akan mengalami morning sickness berupa mual atau muntah. Saat itu terjadi perubahan selera makan dan berat badan yang tidak disadari. Dalam kondisi ini, ibu hamil biasanya akan kehilangan nafsu makan atau makan dengan porsi lebih sedikit dari biasanya. Hal ini akan berakibat buruk bagi ibu dan janin bila tetap memaksakan berpuasa.
“Sedangkan pada trimester ketiga, ditakutkan ibu hamil sewaktu-waktu mengalami persalinan. Kalau dia puasa, maka tenaganya kurang untuk melahirkan,” lanjut dokter sekaligus Ketua Bidang Advokasi PB PAPDI (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia), seperti dikutip dari detikHealth.
Oleh karena itu, ibu hamil yang berpuasa harus memperhatikan asupan gizinya. Asupan gizi dan kalori harus tetap sama dengan kondisi normal atau pada saat tidak berpuasa, yaitu gizi seimbang dengan komposisi 50 persen karbohidrat, 30 persen protein dan 10-20 persen lemak. Ibu hamil juga harus mempertimbangkan usia kandungannya saat menjalankan ibadah puasa.








PENUTUP
Kesimpulan :
 Jika orang yang hamil, menyusui dan melahirkan tersebut masih mampu untuk berpuasa, maka ia diperbolehkan untuk berpuasa
 Jika orang yang hamil, menyusui, dan melahirkan tersebut terasa berat untuk berpuasa, maka diperbolehkannya bagi dia tidak berpuasa, namun harus mengganti pada waktu yang lain
 Jika orang yang hamil, melahirkan, dan menyusui tersebut tidak mampu berpuasa, dan juga tidak mampu menggantinya di lain waktu, maka diwajibkan baginya untuk membayar fidyah saaja.
Dan dalil yang mengutkannya adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar dan Ibn ’Abbas.
لحديث انس بن مالك الكعبي ان رسول الله صلعم. قال: ان الله عز وجل وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة وعن الحبلى و المرضع الصوم (رواه الخمسة). وكان ابن عباس يقول لام ولدله حبلى: انت بمترلة الذى يطيقه، فعليك الفداء ولا قضاء عليك (رواه البزار و صححه الدارقطنى). واخرج ابوداود عن ابن عباس انه قال: اثبت للحبلى والمرضع ان يفطرا ويطعما كل يوم مسكينا.
Artinya : “Menurut Hadis Anas ibn Malik al-Ka’biyyi bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Sungguh Tuhan Allah Yang Maha Besar dan Mulia telah membebaskan puasa dan separoh shalat bagi orang yang bepergian, serta membebaskan puasa dari orang hamil dan menyusui” (HR al-Khamsah). “Dan Ibn ‘Abbas berkata kepada jariyahnya yang hamil: Engkau termasuk orang yang keberatan berpuasa, maka engkau hanya wajib berfidyah dan tidak usah mengganti puasa” (HR. al-Bazzar ditashihkan oleh al-Daruquthni). “Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn ‘Abbas, bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi orang yang mengandung dan menyusui untuk berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya”.

 Wanita hamil sebenarnya aman untuk berpuasa saat kehamilan sudah memasuki trimester kedua atau sekitar bulan keempat sampai awal-awal bulan ketujuh atau kedelapa. Ibu hamil yang berpuasa harus memperhatikan asupan gizinya. Asupan gizi dan kalori harus tetap sama dengan kondisi normal atau pada saat tidak berpuasa, yaitu gizi seimbang dengan komposisi 50 persen karbohidrat, 30 persen protein dan 10-20 persen lemak. Ibu hamil juga harus mempertimbangkan usia kandungannya saat menjalankan ibadah puasa. Sebaiknya wanita yang sedang melahirkan dan menyusui alangkah baiknya tidak usah berpuasa demi kesehatan bayinya.





















DAFTAR PUSTAKA
Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 394 no. 2458].
Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq Syu'aib Al-Arnauth, 'Adil Mursyid, dll, Isyroof : DR Abdulloh bin Abdul Muhsin At-Turki, Muassasah Ar-Risaalah, cetakan pertama (1421 H-2001 M)
http://www.google.co.id/search?q=hukum+puasa+bagi+wanita+hamil+melahirkan+dan+menyusui+dari+segi+kesehatan diakses 21-11-2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar